HUKUM PERIKATAN
Perikatan dalam
bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai
dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti; hal yang
mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu
menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat
berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat
berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang
bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat
itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang
atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian,
perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut
hubungan hukum.
Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers onal law). Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian perikatan menurut Hofmann
adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum
sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau
pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali
untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam
bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah
hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian
yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa
pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu
suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran
kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya
suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian
adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian. Di dalam
hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system
terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian,
perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang
atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat
kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang
telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.
Dasar
Hukum Perikatan
Dasar hukum
perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2. Perikatan yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari
undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata:”Perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten
gevolge van’s mensen toedoen)
a.
Perikatan
terjadi karena undang-undang semata. Perikatan yang timbul dari undang-undang
saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam
pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak
dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan
kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari
sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula
sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen)
menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat),
penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal
termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b.
Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
Azas-azas
dalam Hukum Perikatan
Asas-asas dalam
hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan
berkontrak dan azas konsensualisme. Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan
berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa
segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas
konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada
saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan
tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim
disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan
empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang
Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni
para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam
hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab
yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang
diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum
Wanprestasi
dan Akibat-akibatnya
Wansprestasi
timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang
diperjanjikan.
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.
Tidak
melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan
apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
3.
Melakukan
apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
4.
Melakukan
sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Akibat-akibat Wansprestasi
Akibat-akibat wansprestasi berupa
hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat
digolongkan menjadi tiga kategori, yakni
1.
Membayar
Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)
Ganti rugi
sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni
a.Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
b.Rugi adalah kerugian karena kerusakan
barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
c. Bunga adalah kerugian yang berupa
kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan
Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi
telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian
atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada
keadaan sebelum perjanjian diadakan.
3.
Peralihan
Risiko
Peralihan risiko adalah kewajiban untuk
memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak
yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH
perdata.
Hapusnya Perikatan
Perikatan itu
bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
Pembaharuan
utang (inovatie)
Novasi adalah
suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang
bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan
semula.
Ada tiga macam novasi yaitu :
1) Novasi obyektif, dimana perikatan
yang telah ada diganti dengan perikatan lain.
2) Novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan
utang (kompensasi)
Kompensasi
adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana
dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi
terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana
utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang
ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan
menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang
sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada
A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih
mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi
undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
·
Kedua-duanya
berpokok sejumlah uang atau.
·
Berpokok
sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat
dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
·
Kedua-keduanya
dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Pembebasan
utang
Undang-undang
tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan
utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk
menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk
tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang
adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma-
Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka
pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur
merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan
menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap
untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan,
maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang
yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2)
pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan
debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung
utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya
barang yang terutang
Apabila benda
yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan
atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force
majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang
akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka
untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya
asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia
lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH
Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu
kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas
tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak
kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan
dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam
dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena
kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa
tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh
batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang
bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. Contoh : A menghadiahkan
rumah kepada B dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena
perbuatan hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru
mempunyai akibat setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut.
Sebelu ada putusan, perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A
seorang tidak cakap untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan
rumahnya kepada B dan kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B
belumlah pasti karena wali dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan
kepada hakim agar jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang
menentukan bahwa perbuata hukum adalah batal demi hukum jika terjadi
pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban
umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban
masyarakat. Sedangkan perbuatan hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang
ingin melindungi seseorang terhadap dirinya sendiri.
Syarat yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini
adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat
mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan
menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya
selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang
batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan
isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal
dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama
dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan
menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada
sejak dipenuhinya syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut
ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk
memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya
suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang
ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.
Contoh
kasus
KASUS SURABAYA DELTA PLAZA
;; Sewa – Menyewa Ruangan ;;
A.
Kronologis Kasus
Pada permulaan PT Surabaya Delta Plaza
(PT SDP) dibuka dan disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan
untuk memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara
persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Surabaya
itu. Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT surabaya
Delta Plaza adalah Tarmin Kusno, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Tarmin memanfaatkan ruangan seluas
888,71 M2 Lantai
III itu untuk menjual perabotan rumah tangga dengan nama Combi Furniture.
Empat bulan berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola SDP mengajak Tarmin
membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris. Dua belah pihak
bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan
segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan. Tarmin
bersedia membayar semua kewajibannya pada PT SDP, tiap bulan terhitung sejak
Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan
denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran.
Kesepakatan antara pengelola PT SDP dengan Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris
Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara keduanya
agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Tarmin ternyata tidak pernah
dipenuhi, Tarmin menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga
tagihan demi tagihan pengelola SDP tidak pernah dipedulikannya. Bahkan
menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku karena pihak SDP telah
membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda
pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin akan dibicarakan kembali
di akhir tahun 1991. Namun pengelola SDP berpendapat sebaliknya.
Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum
pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya
membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT SDP. Meski kian
hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus
bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola SDP,
yang mengajak Tarmin meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola SDP menutup COMBI
Furniture secara paksa. Selain itu, pengelola SDP menggugat Tarmin di
Pengadilan Negeri Surabaya.
Hak
Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
Hak Atas Kekayaan Intelektual adalah hak eksklusif
yang diberikan suatu hukum atau peraturan kepada seseorang atau sekelompok
orang atas karya ciptanya. Menurut UU yang telah disahkan oleh DPR-RI pada
tanggal 21 Maret 1997, HaKI adalah hak-hak secara hukum yang berhubungan dengan
permasalahan hasil penemuan dan kreativitas seseorang atau beberapa orang yang
berhubungan dengan perlindungan permasalahan reputasi dalam bidang
komersial (commercial reputation) dan tindakan / jasa dalam
bidang komersial (goodwill).
Dengan begitu obyek utama dari HaKI adalah karya,
ciptaan, hasil buah pikiran, atau intelektualita manusia. Kata “intelektual”
tercermin bahwa obyek kekayaan intelektual tersebut adalah kecerdasan, daya
pikir, atau produk pemikiran manusia (the Creations of the Human Mind) (WIPO,
1988:3). Setiap manusia memiliki memiliki hak untuk melindungi atas karya hasil
cipta, rasa dan karsa setiap individu maupun kelompok.
Kita perlu memahami HaKI untuk menimbulkan kesadaran
akan pentingnya daya kreasi dan inovasi intelektual sebagai kemampuan yang
perlu diraih oleh setiap manusia, siapa saja yang ingin maju sebagai faktor
pembentuk kemampuan daya saing dalam penciptaan Inovasi-inovasi yang kreatif.
Prinsip-prinsip Hak Kekayaan Intelektual
Prinsip-prinsip Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) adalah sebagai berikut
:
·
Prinsip Ekonomi
Dalam prinsip ekonomi, hak intelektual berasal dari
kegiatan kreatif dari daya pikir manusia yang memiliki manfaat serta nilai
ekonomi yang akan member keuntungan kepada pemilik hak cipta.
·
Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan merupakan suatu perlindungan hukum
bagi pemilik suatu hasil dari kemampuan intelektual, sehingga memiliki
kekuasaan dalam penggunaan hak atas kekayaan intelektual terhadap karyanya.
·
Prinsip
Kebudayaan
Prinsip kebudayaan merupakan pengembangan dari ilmu
pengetahuan, sastra dan seni guna meningkatkan taraf kehidupan serta akan
memberikan keuntungan bagi masyarakat, bangsa dan Negara.
·
Prinsip Sosial
Prinsip sosial mengatur kepentingan manusia sebagai
warga Negara, sehingga hak yang telah diberikan oleh hukum atas suatu karya
merupakan satu kesatuan yang diberikan perlindungan berdasarkan keseimbangan
antara kepentingan individu dan masyarakat/ lingkungan.
Dasar Hukum Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia
Dalam penetapan HaKI tentu berdasarkan hukum-hukum yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku. Dasar-dasar hukum tersebut antara lain adalah :
·
Undang-undang
Nomor 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade
Organization (WTO)
·
Undang-undang
Nomor 10/1995 tentang Kepabeanan
·
Undang-undang
Nomor 12/1997 tentang Hak Cipta
·
Undang-undang
Nomor 14/1997 tentang Merek
·
Undang-undang
Nomor 13/1997 tentang Hak Paten
·
Keputusan
Presiden RI No.15/1997 tentang Pengesahan Paris Convention for the Protection
of Industrial Property dan Convention Establishing the World
Intellectual Property Organization
· Keputusan
Presiden RI No.17/1997 tentang Pengesahan Trademark Law Treaty
· Keputusan
Presiden RI No.18/1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection
of Literary and Artistic Works
· Keputusan
Presiden RI No. 19/1997 tentang Pengesahan WIPO Copyrights Treaty
Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut maka Hak atas
Kekayaan Intelektual (HaKI) dapat dilaksanakan. Maka setiap
individu/kelompok/organisasi yang memiliki hak atas pemikiran-pemikiran kreatif
mereka atas suatu karya atau produk dapat diperoleh dengan mendaftarkannya ke
pihak yang melaksanakan, dalam hal ini merupakan tugas dari Direktorat
Jenderal Hak-hak Atas Kekayaan Intelektual, Departemen Hukum dan Perundang-undangan
Republik Indonesia.
Klasifikasi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI)
Secara umum Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) terbagi dalam dua
kategori, yaitu :
1.
Hak Cipta
2.
Hak Kekayaan
Industri, yang meliputi :
1.
Hak Paten
2.
Hak Merek
3.
Hak Desain
Industri
4.
Hak Desain Tata
Letak Sirkuit Terpadu
5.
Hak Rahasia
Dagang
6.
Hak Indikasi
Dalam tulisan ini, penulis hanya akan membahas Hak Cipta, Hak Paten, dan
Hak Merek.
ü Hak Cipta
Hak Cipta adalah Hak khusus bagi pencipta untuk
mengumumkan ciptaannya atau memperbanyak ciptaannya. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 19/2002 Pasal 1 ayat 1 mengenai Hak Cipta :
Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau
penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan
izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Hak cipta termasuk kedalam benda immateriil,
yang dimaksud dengan hak milik immateriil adalah hak milik
yang objek haknya adalah benda tidak berwujud (benda tidak bertubuh). Sehingga dalam
hal ini bukan fisik suatu benda atau barang yang di hak ciptakan, namun apa
yang terkandung di dalamnya yang memiliki hak cipta. Contoh dari hak cipta
tersebut adalah hak cipta dalam penerbitan buku berjudul “Manusia Setengah
Salmon”. Dalam hak cipta, bukan bukunya yang diberikan hak cipta, namun Judul
serta isi didalam buku tersebutlah yang di hak ciptakan oleh penulis maupun
penerbit buku tersebut. Dengan begitu yang menjadi objek dalam hak cipta
merupakan ciptaan sang pencipta yaitu setiap hasil karya dalam bentuk yang khas
dan menunjukkan keasliannya dalam ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Dasar
hukum Undang-undang yang mengatur hak cipta antara lain :
o
UU Nomor 19
Tahun 2002 tentang Hak Cipta
o
UU Nomor 6 Tahun
1982 tentang Hak Cipta (Lembaran Negara RI Tahun 1982 Nomor 15)
o UU Nomor 7 Tahun
1987 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta (Lembaran
Negara RI Tahun 1987 Nomor 42)
o
UU Nomor 12
Tahun 1997 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1987 (Lembaran Negara RI Tahun 1997 Nomor 29)
ü Hak
Kekayaan Industri
Hak kekayaan industri adalah hak yang mengatur segala sesuatu milik
perindustrian, terutama yang mengatur perlindungan hukum. Hak kekayaan industri
sangat penting untuk didaftarkan oleh perusahaan-perusahaan karena hal ini
sangat berguna untuk melindungi kegiatan industri perusahaan dari hal-hal yang
sifatnya menghancurkan seperti plagiatisme. Dengan di legalkan suatu industri
dengan produk yang dihasilkan dengan begitu industri lain tidak bisa semudahnya
untuk membuat produk yang sejenis/ benar-benar mirip dengan mudah. Dalam hak
kekayaan industri salah satunya meliputi hak paten dan hak merek.
o
Hak Paten
Menurut Undang-undang Nomor 14/2001 pasal 1 ayat 1,
Hak Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas
hasil penemuannya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu dalam
melaksanakan sendiri penemuannya tersebut atau dengan membuat persetujuan
kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Paten hanya diberikan negara kepada
penemu yang telah menemukan suatu penemuan (baru) di bidang teknologi. Yang
dimaksud dengan penemuan adalah kegiatan pemecahan masalah
tertentu di bidang teknologi, hal yang dimaksud berupa proses, hasil
produksi, penyempurnaan dan pengembangan proses, serta penyempurnaan dan
pengembangan hasil produksi.
Perlindungan hak paten dapat diberikan untuk jangka
waktu 20 tahun terhitung dari filling date. Undang-undang yang
mengatur hak paten antara lain :
o
UU Nomor 6 Tahun
1989 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 1989 Nomor 39)
o
UU Nomor 13
Tahun 1997 tentang Perubahan UU Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten (Lembaran
Negara RI Tahun 1997 Nomor 30)
o
UU Nomor 14
Tahun 2001 tentang Paten (Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 109).
o
Hak Merek
Berdasarkan Undang-undang Nomor 15/2001 pasal 1 ayat
1, hak merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur
tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan
barang atau jasa. Merek merupakan tanda yang digunakan untuk membedakan
produk/jasa tertentu dengan produk/jasa yang sejenis sehingga memiliki nilai
jual dari pemberian merek tersebut. Dengan adanya pembeda dalam setiap
produk/jasa sejenis yang ditawarkan, maka para costumer tentu dapat
memilih produk.jasa merek apa yang akan digunakan sesuai dengan
kualitas dari masing-masing produk/jasa tersebut. Merek memiliki beberapa
istilah, antara lain :
o
Merek Dagang
Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.
o
Merek Jasa
Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya.
o
Merek Kolektif
Merek Kolektif adalah merek yang digunakan pada barang atau jasa dengan
karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan
hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang atau jasa sejenis
lainnya.
Selain itu terdapat pula hak atas merek, yaitu hak khusus yang
diberikan negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek
untuk jangka waktu tertentu, menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi
izin kepada seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum
untuk menggunakannya. Dengan terdaftarnya suatu merek, maka sudah dipatenkan
bahwa nama merek yang sama dari produk/jasa lain tidak dapat digunakan dan
harus mengganti nama mereknya. Bagi pelanggaran pasal 1 tersebut, maka pemilik
merek dapat mengajukan gugatan kepada pelanggar melalui Badan Hukum atas
penggunaan nama merek yang memiliki kesamaan tanpa izin, gugatan dapat berupa
ganti rugi dan penghentian pemakaian nama tersebut.
Selain itu pelanggaran juga dapat berujung pada pidana yang tertuang pada
bab V pasal 12, yaitu setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak
menggunakan merek yang sama secara keseluruhan dengan merek terdaftar milik
orang lain atau badan hukum lain, untuk barang atau jasa sejenis yang
diproduksi dan diperdagangkan, dipidana penjara paling lama tujuh tahun dan
denda paling banyak Rp100.000.000,-. Oleh karena itu, ada baiknya jika merek suatu barang/jasa untuk di hak
patenkan sehingga pemilik ide atau pemikiran inovasi mengenai suatu hasil
penentuan dan kreatifitas dalam pemberian nama merek suatu produk/jasa untuk
dihargai dengan semestinya dengan memberikan hak merek kepada pemilik baik
individu maupun kelompok organisasi (perusahaan/industri) agar dapat tetap
melaksanakan kegiatan-kegiatan perekonomiannya dengan tanpa ada rasa was-was
terhadap pencurian nama merek dagang/jasa tersebut.
Undang-undang yang mengatur mengenai hak merek antara lain :



Dalam pembahasan ini, dapat disimpulkan bahwa HaKI adalah bagian penting
dalam penghargaan dalam suatu karya dalam ilmu pengetahuan, sastra maupun seni
dengan menghargai hasil karya pencipta inovasi-inovasi tersebut agar dapat
diterima dan tidak dijadikan suatu hal untuk menjatuhkan hasil karya seseorang
serta berguna dalam pembentukan citra dalam suatu perusahaan atau industri
dalam melaksanakan kegiatan perekonomian.
Contoh Kasus
Gugatan Hak Paten Yahoo ke Facebook
Menjelang rencana go public Facebook ternyata muncul masalah baru yang
menghampiri raksasa jejaring sosial ini. Yahoo baru saja mengajukan gugatan
kepada Facebook terkait 10 hak paten. Masalah hak paten biasa terjadi antara
pembuat smartphone, tetapi ini untuk pertama kalinya masalah ini diributkan
oleh kedua “raksasa” internet.
Dalam pengajuan gugatan, Yahoo merasa
dirugikan karena Facebook menggunakan paten teknologi Yahoo yang telah
didaftarkan di Amerika Serikat (AS). Pelanggaran yang telah dilakukan Facebook
tidak dapat dikompensasi dengan cara pembayaran royalti. Pihak Facebook pun
menanggapi gugatan itu dalam sebuah pernyataan. “Kami akan mempertahankan diri
dengan penuh semangat untuk melawan tindakan yang membingungkan ini,” jawab
juru bicara Facebook. Menurut Yahoo, pertumbuhan Facebook yang begitu cepat,
bagaimanapun, didasari oleh penggunaan teknologi jejaring sosial yang telah
dipatenkan Yahoo.
Namun, dari 10 paten yang
dipermasalahkan tersebut sebagian besar merujuk pada periklanan online,
termasuk cara penempatan iklan dan metode aksesnya. Dari 10 paten, hanya dua
yang terkait dengan teknologi media sosial.
Kasus ini seperti ulangan dari keputusan
Yahoo untuk menggugat Google menyusul penawaran saham perdana perusahaan itu
pada 2004. Sengketa masalah hak paten itu dimenangi Yahoo yang memperoleh
sejumlah pembayaran. Disebutkan, Google melakukan penyelesaian kasus itu dengan
menerbitkan 2,7 juta saham untuk saingannya.
Berikut adalah 10 gugatan Yahoo kepada
pihak Facebook:
1. Paten Amerika
Serikat (AS) No 6,901,566 : Metode dan sistem untuk mengoptimalkan penempatan
iklan pada halaman Web.
2. Paten AS No
7,100,111 : Metode dan sistem untuk mengoptimalkan penempatan iklan pada
halaman Web.
3. Paten AS No
7,373,599 : Metode dan sistem untuk mengoptimalkan penempatan iklan pada
halaman Web.
4. Paten AS No.
7,668,861 : Sistem dan metode untuk menentukan validitas interaksi pada
jaringan.
5. Paten AS No.
7,269,590 : Metode dan sistem untuk menyesuaikan tampilan informasi yang
terkait dengan pengguna jaringan sosial.
6. Paten AS No.
7,599,935 : Kontrol untuk memungkinkan pengguna melakukan tampilan preview dari
konten yang dipilih berdasarkan tingkat otorisasi pengguna lain.
7. Paten AS No.
7,454.509 : Pemutaran sistem online dalam komunitas agar satu sama lain dapat
menikmati layanan.
8. Paten AS No.
5,983.227 : Dinamisasi halaman generator, yang memungkinkan pengguna
mengostumisasi halaman dengan template.
9. Paten AS No.
7,747,468 : Konten konsinyasi penjualan dalam sistem dan metode untuk jaringan
penyiaran.
10.Paten AS No. 7,406,501 : Sistem dan metode untuk
instant messaging menggunakan protokol e-mail.
PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan
konsumen adalah perangkat hukum yang
diciptakan untuk melindungi dan terpenuhinya hak konsumen.
Sebagai contoh, para penjual diwajibkan menunjukkan tanda harga sebagai tanda
pemberitahuan kepada konsumen.
UU Perlindungan
Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Republik Indonesia menjelaskan
bahwa hak konsumen diantaranya adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan
keselamatan dalam mengonsumsi barang dan
atau jasa,
hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian, apabila
barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya; dan sebagainya.
Asas perlindungan konsumen
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen pasal 2, ada lima asas perlindungan
konsumen.
·
Asas manfaat
Maksud asas ini adalah untuk mengamankan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan perlu usaha secara keseluruhan.
·
Asas keadilan
Asas ini dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat bias diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknyadan melaksanakan kewajibannya secara adil.
·
Asas
keseimbangan
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti material maupun spiritual.
·
Asas keamanan
dan keselamatan konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan
kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang/jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.
·
Asas kepastian
hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta
Negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan perlindungan konsumen
Dalam UU Perlindungan Konsumen Pasal 3, disebutkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah sebagai berikut.
· Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri.
·
Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa.
· Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, dan menuntut hak- haknya sebagai konsumen.
· Menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi.
· Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.
· Meningkatkan
kualitas barang/jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan jasa,
kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
· Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 ayat
(1), pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 , dan Pasal 33
· Undang Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 No. 42
Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 3821
· Undang Undang No. 5 tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Usaha Tidak Sehat.
· Undang Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang
Arbritase dan Alternatif Penyelesian Sengketa
·Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2001
tentang Pembinaan Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen
·Surat Edaran Dirjen Perdagangan Dalam
Negeri No. 235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang
ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota
Surat Edaran Direktur Jenderal
Perdagangan Dalam Negeri No. 795 /DJPDN/SE/12/2005 tentang Pedoman Pelayanan
Pengaduan Konsumen
CONTOH
KASUS PERLINDUNGAN KONSUMEN
INDOMIE DI TAIWAN
Kasus Indomie yang
mendapat larangan untuk beredar di Taiwan karena disebut mengandung bahan
pengawet yang berbahaya bagi manusia dan ditarik dari peredaran. Zat yang
terkandung dalam Indomie adalah methyl parahydroxybenzoate dan benzoic
acid (asam benzoat). Kedua zat tersebut biasanya hanya boleh digunakan untuk
membuat kosmetik, dan pada Jumat (08/10/2010) pihak Taiwan telah memutuskan
untuk menarik semua jenis produk Indomie dari peredaran. Di
Hongkong, dua supermarket terkenal juga untuk sementara waktu tidak memasarkan
produk dari Indomie.
Kasus Indomie kini
mendapat perhatian Anggota DPR dan Komisi IX akan segera memanggil Kepala BPOM
Kustantinah. “Kita akan mengundang BPOM untuk menjelaskan masalah terkait
produk Indomie itu, secepatnya kalau bisa hari Kamis ini,” kata Ketua Komisi IX
DPR, Ribka Tjiptaning, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa
(12/10/2010). Komisi IX DPR akan meminta keterangan tentang kasus Indomie ini
bisa terjadai, apalagi pihak negara luar yang mengetahui terlebih dahulu akan
adanya zat berbahaya yang terkandung di dalam produk Indomie.
A Dessy Ratnaningtyas,
seorang praktisi kosmetik menjelaskan, dua zat yang terkandung di dalam Indomie yaitu
methyl parahydroxybenzoate dan benzoic acid (asam benzoat) adalah bahan
pengawet yang membuat produk tidak cepat membusuk dan tahan lama. Zat berbahaya
ini umumnya dikenal dengan nama nipagin. Dalam pemakaian untuk produk kosmetik
sendiri pemakaian nipagin ini dibatasi maksimal 0,15%.
Ketua BPOM Kustantinah
juga membenarkan tentang adanya zat berbahaya bagi manusia
dalam kasus Indomie ini. Kustantinah menjelaskan bahwa benar
Indomie mengandung nipagin, yang juga berada di dalam kecap dalam kemasam mie
instan tersebut. tetapi kadar kimia yang ada dalam Indomie masih
dalam batas wajar dan aman untuk dikonsumsi, lanjut Kustantinah.
Tetapi bila kadar
nipagin melebihi batas ketetapan aman untuk di konsumsi yaitu 250 mg per
kilogram untuk mie instan dan 1.000 mg nipagin per kilogram dalam makanan lain
kecuali daging, ikan dan unggas, akan berbahaya bagi tubuh yang bisa
mengakibatkan muntah-muntah dan sangat berisiko terkena penyakit kanker.
Menurut Kustantinah,
Indonesia yang merupakan anggota Codex Alimentarius Commision,
produk Indomie sudah mengacu kepada persyaratan Internasional tentang
regulasi mutu, gizi dan kemanan produk pangan. Sedangkan Taiwan bukan merupakan
anggota Codec. Produk Indomie yang dipasarkan di Taiwan seharusnya
untuk dikonsumsi di Indonesia. Dan karena standar di antara kedua negara
berbeda maka timbulah kasus Indomie ini.
Analisis kasus
berdasarkan Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Kasus penarikan indomie
di Taiwan dikarena pihak Taiwan menuding mie dari produsen indomie mengandung
bahan pengawet yang tidak aman bagi tubuh yaitu bahan Methyl P-Hydroxybenzoate
pada produk indomie jenis bumbu Indomie goreng dan saus barberque.
Hal ini disanggah oleh
Direktur Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang berdasarkan rilis resmi
Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie
instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen
Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie
tidak berbahaya.
Permasalahan diatas
bila ditilik dengan pandangan dalam hokum perlindungan maka akan menyangkutkan
beberapa pasal yang secara tidak langsung mencerminkan posisi konsumen dan
produsen barang serta hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh produsen.
Berikut adalah pasal-pasal dalam UU No 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang berhubungan dengan kasus diatas serta jalan penyelesaian:
Pasal 2 UU NO 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 3 UU NO 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 4 (c) UU NO 8
tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Pasal 7 ( b dan d
)UU NO 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Perlu ditilik dalam
kasus diatas adalah adanya perbedaan standar mutu yang digunakan produsen
indomie dengan pemerintahan Taiwan yang masing-masing berbeda ketentuan batas
aman dan tidak aman suatu zat digunakan dalam pengawet,dalm hal ini Indonesia
memakai standart BPOM dan CODEX Alimentarius Commission (CAC) yang diakui
secara internasional.
Namun hal itu menjadi
polemic karena Taiwan menggunakan standar yang berbeda yang melarang zat
mengandung Methyl P-Hydroxybenzoate yang dilarang di Taiwan. Hal ini yang
dijadikan pokok masalah penarikan Indomie. Oleh karena itu akan dilakukan
penyelidikan dan investigasi yang lebih lanjut.
Untuk menyikapi hal
tersebut PT Indofood Sukses Makmur mencantumkan segala bahan dan juga campuran
yang dugunakan dalam bumbu produk indomie tersebut sehingga masyarakat atau
konsumen di Taiwan tidak rancu dengan berita yang dimuat di beberapa pers di Taiwan.
Berdasarkan rilis resmi
Indofood CBP Sukses Makmur, selaku produsen Indomie menegaskan, produk mie
instan yang diekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan dari Departemen
Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. BPOM juga telah menyatakan Indomie tidak
berbahaya.
Referensi :
https://fahmuk.wordpress.com/2015/07/03/perlindungan-konsumen-dan-contoh-kasus/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar