Antimonopoli dan Persaingan Usaha
Monopoli murni adalah bentuk
organisasi pasar dimana terdapat perusahaan tunggal yang menjual komoditi yang
tidak mempunyai subtitusi sempurna. Perusahaan itu sekaligus merupakan industri
dan menghadapi kurva permintaan industri yang memiliki kemiringan negatif untuk
komoditi itu.
“Antitrust” untuk pengertian yang
sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai
masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli”
Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”.
Dalam praktek keempat kata tersebut,
yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi”
saling dipertukarkan pemakaiannya.
Menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek
monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha
yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau
jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat
merugikan kepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5
Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi
dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undang Anti
Monopoli )
Sementara yang dimaksud dengan
“praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau
lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha
secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1
ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
Asas dan Tujuan
Asas dan tujuan antimonopoli dan
persaingan usaha adalah:
1. Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku
usaha dan kepentingan umum.
2. Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang
bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan
konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan.
Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan
memperkuat kedaulatan konsumen.
Kegiatan yang dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang diatur dalam pasal 17 sampai
dengan pasal 24. Undang undang ini tidak memberikan defenisi kegiatan,seperti
halnya perjanjian. Namun demikian, dari kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan kegiatan disini adalah aktivitas,tindakan secara
sepihak. Bila dalam perjanjian yang dilarang merupakan perbuatan hukum dua
pihak maka dalam kegiatan yang dilarang adalah merupakan perbuatan hukum
sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang tersebut
yaitu :
1) Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas
penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha.
2) Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai
pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang
bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3) Penguasaan
pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang
merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku
usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang
bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan
pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya;
c. membatasi peredaran dan atau
penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi
terhadap pelaku usaha tertentu.
4) Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku
usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan
pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).
5) Posisi
Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku
usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi
diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan
keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan untuk
menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6) Jabatan
Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang
yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan,
pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris
pada perusahaan lain.
7) Pemilikan
Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa
pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan
sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang
sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8) Penggabungan,
peleburan, dan pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, mengatakan bahwa pelaku
usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan berbadan hukum yang menjalankan
perusahaan bersifat tetap dan terus menerus dengan tujuan mencari keuntungan.
Perjanjin yang dilarang
Perjanjian yang dilarang dalam
antimoopoli dan persainga usaha adalah :
1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah
sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga
pasar.
2. Penetapan
harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian,
antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar
oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama
b. Perjanjian yang mengakibatkan
pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama
c. Perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain
yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian
wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap
barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha
pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang
sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi
harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk
melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang
lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup
tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol
produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan
atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar
komoditas.
8. Integrasi
vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam
rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian
produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian
langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian
tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan
memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak
tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan
pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang
memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat.
Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di
Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999
tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.
Sanksi
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan
penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada
tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal
yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja yang termasuk dalam sanksi
administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti Monopoli. Meski KPPU hanya
diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi administratif,
UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48 menyebutkan
mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam Pasal 49.
a. Pasal 48
1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25,
Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000
(dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000
(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6
(enam) bulan.
2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal
26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (
lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima)
bulan.
3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal
41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000
(satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar
rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana,
terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa
1) Pencabutan izin usaha; atau
2) Larangan kepada pelaku usaha yang
telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
3) Penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran
tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau
penyidikan dalam konteks pidana.
Studi Kasus
“KASUS MONOPOLI PASAR
STUDI KASUS CARREFOUR INDONESIA”
Bisnis ritel
atau perdagangan eceran memegang peranan yang sangat penting dalam kegiatan bisnis
di Indonesia, baik ditinjau dari sudut konsumen maupun produsen.
Dari sudut produsen, pedagang eceran dipandang sebagai ujung tombak perusahaan
yang akan sangat menentukan laku tidaknya produk perusahaan. Melalui
pengecer pula para produsen memperoleh informasi berharga tentang komentar
konsumen terhadap barangnya seperti bentuk, rasa, daya tahan, harga dan segala
sesuatu mengenai produknya. Sementara jika dipandang dari sudut
konsumen, pedagang eceran juga memiliki peranan yang sangat penting karena
bertindak sebagai agen yang membeli, mengumpulkan, dan menyediakan barang atau
jasa untuk memenuhi kebutuhan atau keperluan pihak konsumen.
Seiring dengan
perkembangan, persaingan usaha , khususnya pada bidang ritel diantara pelaku
usaha semakin keras. Untuk mengantisipasinya, Pemerintah dan DPR menerbitkan
Undang Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Praktek Antimonopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. Dengan hadirnya undang-undang tersebut dan lembaga yang
mengawasi pelaksanaannya, yaitu KPPU, diharapkan para pelaku usaha dapat
bersaing secara sehat sehingga seluruh kegiatan ekonomi dapat berlangsung lebih
efisien dan memberi manfaat bagi konsumen.
Di dalam
kenyataan yang terjadi, penegakan hukum UU praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat ini masih lemah. Dan kelemahan tersebut ”dimanfaatkan”
oleh pihak CARREFOUR Indonesia untuk melakukan ekspansi bisnis dengan
mengakuisisi PT Alfa Retailindo Tbk. Dengan mengakuisisi 75 persen saham PT
Alfa Retailindo Tbk dari Prime Horizon Pte Ltd dan PT Sigmantara Alfindo.
Berdasarkan laporan yang masuk ke KPPU, pangsa pasar Carrefour untuk sektor
ritel dinilai telah melebihi batas yang dianggap wajar, sehingga berpotensi
menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat.
SENGKETA
Pengertian sengketa dalam kamus Bahasa Indonesia,
berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau
pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi
terhadap satu objek permasalahan. Senada dengan itu Winardi mengemukakan
:
Pertentangan atau konflik yang terjadi antara
individu-individu atau kelopok-kelompok yang mempunyai hubungan atau
kepentingan yang sama atau suatu objek keemilikan, yang menimbulkan akibat
hukum antara satu dengan yang lain.
Sengketa internasional adalah suatu perselisihan
antara subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum atau politik
dimana tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau
diingkari oleh pihak lainnya.
Istilah “sengketa internasional” (International
disputes) mencakup bukan saja sengketa-sengketa antara Negara-negara, melainkan
juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, yakni
beberapa kategori sengketa tertentu antara Negara disatu pihak dan
individu-individu, badan-badan korporasi serta badan-badan bukan Negara di
pihak lain.
Persengketaan bisa terjadi karena :
1. Kesalahpahaman tentang suatu hal.
2. Salah satu pihak sengaja melanggar hak / kepentingan negara lain.
3. Dua negara berselisih pendirian tentang suatu hal.
4. Pelanggaran hukum / perjanjian internasional.
Contoh sebab timbulnya sengketa internasional yang sangat potensial
terjadinya perang terbuka :
1. Segi Politis (adanya pakta pertahanan / pakta perdamaian).
Pasca Perang Dunia II (1945) muncul dua kekuatan besar
yaitu Blok Barat (NATO pimpinan AS) dan Blok Timur (PAKTA WARSAWA pimpinan Uni
Soviet). Mereka bersaing berebut pengaruh di bidang Ideologi, Ekonomi, dan
Persenjataan. Akibatnya sering terjadi konflik di berbagai negara, missalnya
Krisis Kuba, Perang Korea (Korea Utara didukung Blok Timur dan Korea Selatan
didukung Blok Barat), Perang Vietnam dll.
2. Batas Wilayah.
Suatu Negara berbatasan dengan wilayah Negara lain.
Kadang antar Negara terjadi ketidak sepakatan tentang batas wilayah masing –
masing. Misalnya Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan
(Kalimantan). Sengketa ini diserahkan kepada Mahkamah Internasional dan pada
tahun 2003 sengketa itu dimenangkan oleh Malaysia.
Dengan runtuhnya Blok Timur dengan ditandai runtuhnya
Tembok Berlin tahun 1989 maka AS muncul sebagai kekuatan besar (Negara
Adikuasa). Sehingga cenderung membawa dunia dalam tatanan yang bersifat
UNIPOLAR artinya AS bertindak sebagai satu – satunya kekuatan yang
mengendalikan sebagian besar persoalan di dunia. Akibatnya cenderung muncul
sengketa di dunia internasional.
Contoh
Kasus
“Masalah Gadai Emas, BI akan panggil BRI
Syariah”
Bank
Indonesia berencana akan memanggil Bank Rakyat Indonesia Syariah (BRIS) dan
seniman Butet Kertaradjasa terkait masalah skema gadai emas. Direktur
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia Edy Setiadi mengungkapkan, dalam
pertemuan tersebut BI akan mendengarkan penjelasan BRIS terkait kesalahpahaman
yang terjadi.
“Bank
Indonesia, dalam waktu dekat akan memanggil BRIS untuk memberikan penjelasan
mengenai permasalahan kesalahpahaman antara BRIS dan nasabahnya,” kata Edy
kepada VIVA news di Jakarta, Sabtu 15 September 2012. Sementara, untuk
melakukan proses mediasi, Edy menambahkan, BI masih mempelajari permasalahan
lebih lanjut. “BI akan mempelajari permasalahan tersebut terlebih dahulu
sebelum melakukan tindak lanjutnya,” ujarnya.
Seperti
diberitakan sebelumnya, Gadai Emas, produk gadai di bank syariah, yang sempat
dipermasalahkan Bank Indonesia, akhirnya menuai kasus. Seniman Butet Kartared jasa
mengadukan produk gadai syariah Bank Rakyat Indonesia Syariah karena dianggap
merugikan nasabah.
Butet
menjadi nasabah gadai emas BRI Syariah di Yogyakarta pada Agustus 2011. Ia
menggadaikan emasnya, dengan modal 10 persen dari keseluruhan harga emas, BRI
Syariah memberikan pembiayaan sebesar 90 persen. Butet mencicil sejumlah uang
yang dipersyaratkan.
Ketika
jatuh tempo pada Desember 2011, nasabah diberikan opsi ketika harga emas turun
nasabah diminta menanggung penurunan harga dari harga emas semula. Butet
menolak opsi tersebut.
BRI
Syariah juga memberikan opsi memperpanjang masa jatuh tempo sebanyak dua kali,
namun kerugian penurunan harga tetap harus ditanggung Butet. BRI juga meminta
emas yang dimiliki Butet dijual.
“Saya
minta skema diperpanjang dalam tiga tahun, karena ketika harga emas naik
silahkan dijual, jadi win-win solution,” ujar Butet.
BRI
Syariah akhirnya menjual kepemilikan emas Butet dengan alasan hal itu sudah
tercantum dalam perjanjian. Karena merasa menjadi korban, ia akan mengajukan class
action.
Jalur non-litigasi atau biasa disebut Alternative
Dispute Settlement (ADS) menjadi opsi alternatif untuk penyelesaian
sengketa yang sedang terjadi dalam masalah Gadai Emas. Oleh para sarjana,
metode ini dianggap paling efektif untuk menyelesaikan sengketa bisnis karena
biayanya relatif lebih murah daripada menggunakan jalur litigasi. Di Indonesia
konsep alternatif penyelesaian sengketa sudah semakin familiar dengan UU No. 30
tahun 1999.
.....
.....
UNDANG-UNDANG
ITE
Undang-undang Informasi dan Transaksi
Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan
perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di
wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki
akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum
Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik
(UUITE) mengatur berbagai perlindungan hukum atas kegiatan yang memanfaatkan
internet sebagai medianya, baik transaksi maupun pemanfaatan informasinya. Pada
UUITE ini juga diatur berbagai ancaman hukuman bagi kejahatan melalui internet.
UUITE mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat pada
umumnya guna mendapatkan kepastian hukum, dengan diakuinya bukti elektronik dan
tanda tangan digital sebagai bukti yang sah di pengadilan.
Salah satu isi dari UU ITE ini adalah “mereka yang
secara sengaja dan tanpa hak melakukan penyadapan atas informasi dan/atau
dokumen elektronik pada komputer atau alat elektronik milik orang lain akan
dikenakan hukuman berupa penjara dan/atau denda. Hal itu tertuang dalam Bab VII
tentang Perbuatan Yang Dilarang, Pasal 31 ayat (1) dan (2)”.
Sisi Positif UU ITE
Berdasarkan dari pengamatan para pakar hukum dan
politik UU ITE mempunyai sisi positif bagi Indonesia. Misalnya memberikan
peluang bagi bisnis baru bagi para wiraswastawan di Indonesia karena
penyelenggaraan sistem elektronik diwajibkan berbadan hukum dan berdomisili di
Indonesia. Otomatis jika dilihat dari segi ekonomi dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi. Selain pajak yang dapat menambah penghasilan negara juga menyerap
tenaga kerja dan meninggkatkan penghasilan penduduk.
UU itu juga dapat mengantisipasi kemungkinan
penyalahgunaan internet yang merugikan, memberikan perlindungan hukum terhadap
transaksi dan sistem elektronik serta memberikan perlindungan hukum terhadap
kegiatan ekonomi misalnya transaksi dagang. Penyalahgunaan internet kerap kali
terjadi seperti pembobolan situs-situs tertentu milik pemerintah. Kegiatan
ekonomi lewat transaksi elektronik seperti bisnis lewat internet juga dapat
meminimalisir adanya penyalahgunaan dan penipuan.
UU itu juga memungkinkan kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang di luar Indonesia dapat diadili. Selain itu, UU ITE juga membuka
peluang kepada pemerintah untuk mengadakan program pemberdayaan internet. Masih
banyak daerah-daerah di Indonesia yang kurang tersentuh adanya internet.
Undang-undang ini juga memberikan solusi untuk meminimalisir penyalahgunaan
internet.
Sisi Negatif UU ITE
Selain memiliki sisi positif UU ITE ternyata juga
terdapat sisi negatifnya. Contoh kasus Prita Mulyasari yang berurusan dengan
Rumah Sakit Omni Internasional juga sempat dijerat dengan undang-undang ini.
Prita dituduh mencemarkan nama baik lewat internet. Padahal dalam undang-undang
konsumen dijelaskan bahwa hak dari konsumen untuk menyampaikan keluh kesah
mengenai pelayanan publik. Dalam hal ini seolah-olah terjadi tumpang tindih
antara UU ITE dengan UU konsumen. UU ITE juga dianggap banyak oleh pihak bahwa
undang-undang tersebut membatasi hak kebebasan berekspresi, mengeluarkan
pendapat, dan menghambat kreativitas dalam berinternet. Padahal sudah jelas
bahwa negara menjamin kebebasan setiap warga negara untuk mengeluarkan
pendapat.
Contoh kasus
Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali memakan 'korban'. Benny
Handoko, pemilik akun twitter @benhan dinyatakan bersalah atas tindak pidana
pencemaran nama baik terhadap anggota DPR M Misbakhun.
Ia divonis 6 bulan
penjara dengan masa percobaan 1 tahun. Vonis tersebut ditetapkan hari ini, Rabu
(5/2/2014) oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Benhan sendiri
dinyatakan bersalah dan melanggar UU ITE Pasal 27 ayat 3.
Menanggapi kasus
ini, komunitas blogger dan aktivis online Asia Tenggara yang tergabung dalam
South Asian Freedom of Network (SAFENET) menyerukan agar pemerintah segera
menghentikan praktik pembungkaman berpendapat di dunia maya.
SAFENET menilai
pemerintah Indonesia belum bisa melindungi kebebasan berpendapat warganya.
Padahal publik berhak menyampaikan pendapat tanpa harus takut merasa diawasi,
dikekang ataupun dibungkam.
Pasal 27 ayat 3
dianggap sebagai salah satu ganjalan kebebasan berpendapat di internet. Sebab
pasal tersebut dapat memenjarakan para pengguna internet yang berpendapat di
dunia maya. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan semangat reformasi. Warga bisa
saja jadi takut nge-blog atau mmeposting sesuatu di internet.
"Di banyak
negara, pencemaran nama tidak masuk ke dalam ranah hukum pidana dan cukup
diseslesaikan dengan hukum perdata," jelas SAFENET melalui keterangan
tertulis.
Sejak UU ITE
disahkan ke publik tahun 2008 lalu, lembaga studi kebijakan dan advokasi ELSAM
mendata bahwa hingga saat ini setidaknya ada 32 kasus pembungkaman kebebasan berekspresi
di dunia maya. Bahkan ada kecenderungan pasal 27 ayat 3 UU ITE digunakan oleh
mereka yang memiliki kekuasaan, seperti pejabat atau tokoh, untuk membungkam
yang kritis.
Refrensi :
http://ressy04.blogspot.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar